Sidang Prapid, Pengacara Bos PT Scoo Beauty Bantah Dalil Polda Riau

Peristiwa Kamis, 31 Juli 2025 - 12:58 WIB  |   Redaktur : Administrator  
Sidang Prapid, Pengacara Bos PT Scoo Beauty Bantah Dalil Polda Riau

Kuasa hukum Pemohon Andi Lala, selaku penasehat hukum (PH) kedua Pemohon dalam replik pada sidang lanjutan pra peradilan yang digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan hakim tunggal Arsul Hidayat, Rabu (30/7/25). (Istimewa)

Pekanbaru — Pemohon Gerhilda Elen dan Saluja Vijay Kumar menanggapi jawaban Polda Riau selaku Termohon terkait penetapannya sebagai tersangka penipuan serta penggelapan investasi Rp 8 miliar. Dua bos PT Scoo Beauty Inspira itu secara tegas menolak semua dalil yang dituduhkan Termohon.

Penolakan itu disampaikan Andi Lala SH MH selaku penasehat hukum (PH) kedua Pemohon dalam replik pada sidang lanjutan pra peradilan yang digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan hakim tunggal Arsul Hidayat, Rabu (30/7/25).

Ia menegaskan tidak terdapat unsur paksaan atau tipu daya dalam kerja sama bisnis yang dijalankan bersama Pelapor Eka Delmusyanti.

"Kami menolak seluruh dalil yang disampaikan Termohon, kecuali yang secara tegas diakui kebenarannya,"tegas Andi Lala.

Dalil-dalil itu di antaranya terkait pernyataan Termohon yang menyebut Nova Susanti menjabat sebagai Direktur Marketing di PT Scoo Beauty Inspira, tidak benar dan keliru. 

Berdasarkan Akta Notaris Nomor 23 tanggal 8 November 2023 yang dibuat oleh Herlina, tercatat Pemohon Gerhilda Elen selaku Komisaris dan Saluja Vijay Kumar selaku Direktur Utama sedangkan Nova Susanti sebagai Direktur tanpa embel-embel fungsi “marketing”.

Selaku direktur, Nova Susanti yang juga jadi tersangka di kasus ini melakukan promosi melalui akun media sosial pribadi merupakan inisiatifnya sebagai bagian dari strategi bisnis, bukan jabatan struktural.

Terkait tuduhan adanya bujuk rayu terhadap pelapor untuk menanam saham Rp 8 miliar yang melibatkannya, Pemohon menyatakan bahwa seluruh proses investasi dilakukan secara sadar dan sukarela. Kesepakatan disetujui pelapor dan suaminya.

Tudingan bahwa pelapor "'tergiur"' karena membawa nama Nagita Slavina atau RANS dalam usaha kosmetik seperti yang disampaikan Termohon adalah bentuk narasi yang tidak proporsional. Kenyataannya, Nagita memang pemegang saham di PT Scoo Beauty.

"Pelapor tidak hanya menyetujui kerja sama, tetapi juga memiliki kesempatan untuk menolak atau meminta perubahan isi kesepakatan," ujarnya.

Dalam replik tersebut juga ditegaskan bahwa pembayaran oleh pelapor dilakukan secara bertahap karena Nova Susanti menyampaikan kepada Pemohon kalau pelapor tidak ada dana Rp 8 miliar untuk dibayar sekaligus.

Sebelum pelapor melakukan transfer tahap pertama senilai Rp 2 miliar, telah dilakukan pertemuan yang membahas rencana penggunaan dana. 

Pertemuan tersebut turut didampingi oleh konsultan hukum internal perusahaan, Rando Hasibuan. Hal ini sekaligus membantah klaim bahwa investasi dilakukan tanpa penjelasan peruntukan dana atau pendamping hukum.

Menanggapi dalil Termohon mengenai tidak diterimanya keuntungan oleh pelapor hingga Oktober 2024, Pemohon menegaskan bahwa pembagian keuntungan sebesar 60% mengacu pada laba bersih yang dapat didistribusikan sesuai keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 

"Terkait fee keuntungan 60% per 3 bulan sekali sebagaimana tercatat dalam adendum kesepakatan diatas, merujuk kepada bilamana outlet/toko telah mendapatkan (laba bersih), sesuai yang telah disepakati," jelasnya.

Hal tersebut telah disepakati bersama dalam perjanjian dan sesuai dengan ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT). Sementara itu, royalti fee sebesar 2% yang disebut dalam kerja sama adalah hak Pemohon sebagai pihak pertama, bukan untuk Pelapor.

Pemohon juga tidak membantah bahwa pelapor telah menyerahkan dana investasi senilai Rp6,3 miliar. Namun, Pemohon menyatakan tidak mengetahui adanya tambahan dana di luar jumlah tersebut yang diberikan kepada Nova Susanti.

"Dana yang telah diterima, telah digunakan untuk kepentingan operasional perusahaan sesuai perjanjian," tutur Andi Lala.

Dalam perkara ini, Pemohon menyebut seharusnya yang menuntut kerugian adalah Pemohon karena pelapor belum melaksanakan seluruh kewajibannya yakni melakukan pembayaran Rp 2 miliar selambat-lambatnya tanggal 30 September 2024.

Pelapor hanya membayarkan sejumlah Rp 300 juta di bulan Agustus 2024, dan belum menyelesaikannya sampai saat ini.
Para Pemohon menegaskan bahwa tuduhan kerugian sebesar Rp?7,3?miliar maupun Rp?6,8?miliar tidak berdasar karena tidak disertai perincian valid.

Klaim tersebut dianggap prematur, sementara data nyata menunjukkan pelapor belum menyetorkan seluruh kewajibannya dalam perjanjian sehingga tidak ada laba bersih yang bisa dibagikan. 

"Pihak penyidik disebut sebagai pihak yang belum menghadirkan data audit independen untuk mendukung angka tersebut.

Meskipun Polda memiliki wewenang melakukan penyelidikan berdasarkan Pasal 102 dan 106 KUHAP, proses tersebut dinilai tidak memenuhi asas due process of law. 

"Pemohon belum pernah dipanggil atau dimintai klarifikasi atas dugaan 58 transaksi mencurigakan yang berasal dari audit pihak ketiga, sehingga hak untuk didengar telah diabaikan," tutur Andi Lala.

Para Pemohon menganggap kasus ini sesungguhnya merupakan sengketa keperdataan tentang wanprestasi investasi, bukan tindak pidana. Pelapor diduga belum menyelesaikan kewajiban modal dari perjanjian investasi sehingga terjadi kerugian bisnis secara alami. 

Pernyataan soal “imbalan balik modal dalam tiga bulan dengan dukungan selebritas RANS” dinyatakan sebagai pernyataan yang disampaikan oleh pihak ketiga, bukan oleh mereka sebagai perwakilan perusahaan.

Penetapan keduanya Pemohon sebagai tersangka dianggap prematur dan tidak sah karena tidak memenuhi dua alat bukti sah menurut Pasal 184 KUHAP. 

Alat bukti yang dipakai dinilai lebih berbau dokumen perdata, seperti perjanjian kerjasama dan bukti transfer. Pemohon juga menyatakan bahwa hasil audit publik tidak mempertimbangkan data internal mereka sama sekali.

Para Pemohon menyebut telah terjadi penyalahgunaan hukum pidana oleh Pelapor yang memaksakan proses pidana atas persoalan bisnis yang sebenarnya dapat diselesaikan melalui ranah perdata. Mereka menegaskan tidak ada “mens rea” atau niat jahat atau unsur penipuan dalam tindakan mereka.

Berdasarkan hal itu, Pemohon meminta majelis hakim Praperadilan untuk Menyatakan penetapan tersangka tidak sah secara hukum, menyatakan bahwa proses penyidikan dinyatakan cacat hukum dan tidak memenuhi asas keadilan prosedural.

"Kami meminta hakim mengabulkan seluruh permohonan mereka untuk pembatalan status tersangka dan penghentian penyidikan," pungkas Andi Lala.

Untuk diketahui, Gerhilda Elen dan Saluja Vijay Kumar, dua pemilik francise kosmetik Scoo Beauty, mengajukan permohonan pra peradilan (Prapid) terhadap Ditreskrimum Polda Riau.

Para pemohon tidak terima ditetapkan sebagai tersangka penipuan dan penggelapan oleh penyidik Ditreskrimum Polda Riau. Mereka disangkakan melanggar Pasal 378 dan 372 KUHPidana. 

(red)

Redaktur : Administrator





Berita Lainnya

KT-Pematang Panjang - HUT 75 Kampar