Kejaksaan Agung Didesak Sita Harta PT Jatim Jaya Perkasa Rp491 Miliar

Riau Senin, 07 Juli 2025 - 14:16 WIB  |   Redaktur : Administrator  
Kejaksaan Agung Didesak Sita Harta PT Jatim Jaya Perkasa Rp491 Miliar

PT Jatim Jaya Perkasa di Rohil.

Pekanbaru -- Organisasi Masyarakat (Ormas) Pemuda Tri Karya (PETIR) mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI untuk segera menyita aset PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) guna menutupi kerugian materiil yang mencapai Rp491 miliar. Hingga kini, pihak PT JJP belum melakukan pembayaran ke negara.

Nilai tersebut muncul sebagai konsekuensi atas keputusan pengadilan terkait perkara perdata kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan perusahaan di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) pada 2015, mencakup area seluas 1.000 hektare.

Jackson Sihombing, Ketua Umum Ormas PETIR, menilai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lamban dan tidak tegas dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA), sehingga pembayaran kerugian materiil tersebut menjadi berlarut-larut.

"KLHK seolah membiarkan PT Jatim Jaya Perkasa mengabaikan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)," kata Jackson dalam keterangannya kepada media.

"Kerugian materiil sebesar Rp491 miliar seharusnya dibayar perusahaan ini kepada negara, tetapi hingga kini tidak ada tindakan nyata dari KLHK," sambungnya.

Jackson menjelaskan bahwa putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam putusan MA Nomor : 728 PK/PDT/2020, Jo Putusan MA Nomor : 1095 K/PDT/2018, serta keputusan-keputusan sebelumnya di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Dalam perkara yang diajukan KLHK ini, PT JJP terbukti bersalah atas kebakaran lahan yang menimbulkan kerugian besar bagi negara dan merusak ekosistem.

"KLHK punya kewenangan perdata, tetapi kami mendorong Kejaksaan Agung mengambil langkah lebih tegas dari sisi pidana, agar eksekusi putusan berjalan sesuai hukum. Hal ini penting karena kerugian negara yang ditimbulkan PT Jatim Jaya Perkasa sangat besar," imbuh Jackson.

Sejarah Putusan dan Upaya Banding yang Dilakukan PT Jatim Jaya Perkasa

Perkara ini dimulai pada 9 Juni 2016 saat Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan putusan Nomor : 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr. Dalam amar putusan tersebut, PT JJP diperintahkan untuk membayar ganti rugi materiil Rp7,1 miliar ke rekening kas negara dan melakukan pemulihan lingkungan pada lahan terbakar seluas 120 hektare dengan biaya Rp22,2 miliar. Namun, pihak PT JJP mengajukan banding atas putusan tersebut.

Pada Maret 2017, PT DKI Jakarta kemudian memutus perkara Nomor : 727/PDT/2016/PT.DKI dengan menguatkan keputusan PN Jakarta Utara, bahkan menambahkan jumlah kerugian materiil yang harus dibayar PT Jatim Jaya Perkasa menjadi Rp491,02 miliar. Rinciannya, Rp119,8 miliar untuk ganti rugi materiil dan Rp371 miliar untuk biaya pemulihan lingkungan. Pengadilan juga menetapkan uang paksa (dwangsom) Rp25 juta per hari jika perusahaan terlambat melaksanakan tindakan pemulihan.

Menurut Jackson, lambannya tindakan terhadap PT JJP akan memberi dampak buruk pada ketegasan hukum dalam kasus-kasus lingkungan hidup di masa depan. Ormas PETIR berharap Kejaksaan Agung segera mengambil langkah pidana jika PT JJP tetap mengabaikan kewajibannya.

"Dengan besarnya kerugian negara, Kejaksaan Agung perlu menunjukkan sikap yang tegas agar keadilan lingkungan hidup tidak hanya sebatas di atas kertas," tutup Jackson.

Putusan kepada perusahaan perkebunan sawit, PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) sudah berkekuatan hukum tetap beberapa tahun lalu tetapi hingga kini belum ada eksekusi. Berbagai kalangan pun mendesak pihak berwenang segera menjalankan putusan pengadilan ini.

Baru-baru ini perusahaan perkebunan sawit ini malah kedua kali menggugat Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Bambang Hero Saharjo, yang jadi ahli dalam persidangan. Belakangan perusahaan cabut gugatan terhadap ahli forensik kehutanan ini.

Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, peluang kriminalisasi ahli forensik kehutanan masih terbuka lebar perusahaan sawit ini lakukan untuk menakut-nakuti sambil menunda eksekusi putusan pengadilan. Untuk itu, eksekusi hukum terhadap perusahaan sawit  ini harus segera dijalankan.

“Eksekusi putusan harus dilakukan. Yang saat ini dilakukan perusahaan tidak mau menjalankan kewajibannya, malah mencari cara menunda-nunda atau mengakali agar putusan tidak dijalankan, atau eksekusi tidak bisa dijalankan,” kata Dodo, sapaan akrabnya.

Putusan sudah berkekuatan hukum tetap setelah Mahkamah Agung menolak kasasi JJP beberapa tahun lalu, tetapi perusahaan perkebunan sawit belum membayar kewajiban mereka sama sekali.

Alih-alih menjalankan hukum, JJP justru menggugat Bambang Hero pada 2018 dan 2024, dengan mempersoalkan kesaksian guru besar IPB University ini.

Perusahaan berkilah kebakaran terjadi di lokasi mereka hanya 120 hektar, berbeda dengan kesaksian Bambang yang menyebut kebakaran hingga 1.000 hektar.

"Sifat eksekusi itu pertama, dia (perusahaan), harusnya sukarela menjalankan. Tapi dia malah melakukan SLAPP (strategic lawsuit against public participation). Ini bentuk penghinaan terhadap institusi pengadilan," katanya.

Dodo menekankan kembali pentingnya menyegerakan eksekusi putusan JJP. “JJP harus betul-betul ditagih kewajibannya untuk menjalankan putusan pengadilan, supaya upaya perlawanan ini bisa dihentikan.”

Dia bilang, sangat tidak masuk akal JJP tidak jalankan putusan pengadilan karena keterbatasan aset atau ketidakmampuan menyewa pengacara. Pasalnya, dari riset Walhi Riau setidaknya JJP memiliki pendapatan kotor Rp47 miliar dalam sebulan.

"Menurut saya, ini lebih karena ketidakmauan membayar atau melakukan tindakan pemulihan. Jadi,  PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Utara harus segera koordinasi dengan PN di Rokan Hilir dan koordinasi dengan aparat untuk segera eksekusi secepatnya," kata Dodo.

Sementara, Parlin Panjaitan GM PT JJP hingga berita ini dituliskan, belum berhasil dikonfirmasi. 


Berikut adalah poin-poin penting terkait kasus PT JJP:

Kasus Karhutla:
PT JJP dinyatakan bersalah atas kebakaran lahan yang terjadi di wilayah konsesinya pada tahun 2013. 

Hukuman:
Perusahaan dijatuhi hukuman membayar ganti rugi materiil dan melakukan pemulihan lingkungan. 

Tuntutan Ganti Rugi:
KLHK menuntut PT JJP membayar ganti rugi sebesar Rp119,8 miliar dan biaya pemulihan lahan seluas 1.000 hektare sebesar Rp371,1 miliar. 

Upaya Hukum PT JJP:
PT JJP telah mengajukan upaya hukum berupa Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, namun ditolak. 

Eksekusi Putusan:
KLHK berupaya mempercepat proses eksekusi putusan pengadilan terkait ganti rugi dan pemulihan lahan. 

Tanggapan PT JJP:
PT JJP dinilai tidak memiliki komitmen untuk memenuhi kewajibannya karena tidak menghadiri panggilan pengadilan dan kembali mengajukan PK. 

(wan/bbs)

Redaktur : Administrator





Berita Lainnya

KT-Pematang Panjang - HUT 75 Kampar