Ratusan Warga Ikut Lomba Melamun, Ngelamunin Soal Cinta hingga Gaji

Entertainment Selasa, 19 Agustus 2025 - 12:28 WIB  |   Redaktur : Indra  
Ratusan Warga Ikut Lomba Melamun, Ngelamunin Soal Cinta hingga Gaji

Lomba melamun di Jogja diikuti ratusan peserta. (Istimewa)

JOGJA-- Ratusan orang berkumpul di Lapangan Bokong Semar yang berada di kawasan wisata sejarah Kotagede, tepatnya di Kalurahan Singosaren, Kapanewon Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, Senin (18/8/2025) sore. Di tengah rumput lapangan kering berpasir, mereka duduk bersila hanya beralaskan tikar dan tak saling bertegur sapa.

Sinar matahari yang hangat dan semilir angin yang lembut membuat suasana sore itu terasa syahdu. Masing-masing terbawa sasana dan terhanyut dalam pikiran mereka sendiri. Ekspresi natural terpancar dari raut muka mereka. Ada yang tatapannya kosong menengadah ke langit, ada yang matanya terpejam, ada pula yang wajahnya memerah dan air mata membasahi pipinya.

Mereka semua, sebanyak 125 orang itu, bukan sedang melakukan tirakat atau melakukan semacam laku spiritual “ngalap berkah” yang dipimpin sang mahaguru. Bukan pula sedang menggelar acara gathering kantor dalam bentuk meditasi bersama.

Di sana mereka tengah mengikuti “lomba melamun”, sebuah perlombaan unik yang digelar dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80. 

Evander Dwi Pramana, salah seorang panitia acara lomba melamun, mengatakan bahwa ia bersama rekan-rekannya di komunitas menggelar lomba itu dilatarbelakangi dari kegelisahan hidup yang dialami setiap orang.

"Teman-teman itu kalau banyak pikiran waktu malam biasanya nongkrong sambil melamun. Nah terus kita pikir apa nggak dibuat lomba saja biar melamunnya punya teman. Melamun bareng sore-sore di Kotagede kayaknya seru. Ya sudah, habis itu eksekusi," ungkap Evander.

Ada Peserta yang Takut Kesurupan

Sejumlah peserta lomba melamun tampak terbawa suasana dan terhanyut dalam pikiran mereka sendiri. Ekspresi natural terpancar dari raut muka mereka

Evander menjelaskan, acara lomba melamun terselenggara berkat kolaborasi antara beberapa kelompok akar rumput yaitu Komunitas Tamasya Karsa, Media Komunitas “Life at Kotagede”, dan Café Loka Nusa yang letaknya bersebelahan dengan Lapangan Bokong Semar. Mereka pun baru pertama kali mengadakan perlombaan unik seperti ini.

"Kami awalnya coba-coba. Tujuan utamanya sebenarnya hanya untuk menambah teman. Ternyata yang daftar banyak," ujarnya.

Pertama kali buka pendaftaran H-7 atau tujuh hari sebelum lomba, ternyata banyak orang yang berminat mengikuti lomba melamun. Untuk mendaftar lomba, mereka dikenakan biaya registrasi Rp20.000. Setelah itu mereka dimasukkan ke dalam grup WhatsApp di mana mereka bisa saling berkenalan sesama peserta dan berkomunikasi dengan panitia lomba.

"Grup itu selalu ramai. Banyak dari mereka yang tanya soal ketentuan lomba. Ada juga peserta yang tanya kalau waktu melamun terus kesurupan nanti gimana," kata Evander.

Ngelamunin Soal Cinta hingga UMR

Melamun adalah lomba yang cocok bagi orang dewasa, terutama bagi mereka yang masuk dalam fase "quarter life crisis". Di fase itu mereka memikirkan banyak hal hingga overthinking.

Tak hanya dari kawasan Kotagede, animo peserta datang dari wilayah sekitar seperti Sleman, Bantul, dan Kulon Progo. Ada juga peserta yang merupakan perantauan dari luar kota.

Tina (25), salah seorang perantauan dari Jakarta yang sudah menetap di Jogja sejak tahun 2018, mengaku bahwa lomba itu sangat cocok dengan orang-orang seusianya yang sedang memasuki masa quarter life crisis. Pada usia yang ia jejaki saat ini, ia mengaku sering memikirkan banyak hal sambil melamun.

"Saya ini sehari-hari memang sering melamun. Nge-lamunin kerjaan, nge-lamunin orang tua, nge-lamunin pacar, nge-lamunin UMR Jogja, nge-lamunin kapan bisa keluar dari Jogja. Sudah enak-enak tinggal di Jakarta, eh ke Jogja lagi. Soalnya Jogja itu ngangenin terus, Mas," curhat perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai content creator untuk sebuah brand itu.

Tina bercerita, sejak lulus kuliah pada tahun 2022, dia sebenarnya sempat pulang ke Jakarta dan bekerja di sana. Namun rutinitas di Jakarta yang memaksa segala hal harus dilakukan serba cepat membuatnya lelah. Akhirnya ia memilih kembali ke Jogja yang kehidupannya dikenal lebih slow living.
 
Melamun adalah Passion 

Seoranga peserta lomba tampak melamun sambil meratapi lembaran slip gaji bulanannya sebagai karyawan tidak tetap. Terkadang gaji bulanan tidak cukup menanggung beban hidup yang makin mahal, terutama untuk gaji UMR Jogja.

Peserta lainnya, Intan (31), sangat antusias untuk mengikuti lomba melamun. Bahkan saking antusiasnya, ia sengaja merias wajahnya dan berpakaian menyerupai seekor lebah madu.

"Biar lucu aja," ujarnya singkat saat ditanya soal pemilihan kostumnya.

Menurut Intan, perlombaan unik seperti lomba melamun masih jarang dijumpai di tempat lain. Ia pun memberi apresiasi pada kreatifitas panitia yang melakukan inovasi dalam merayakan kemerdekaan Indonesia.

Selain Intan dengan kostum lebah madu-nya, beberapa peserta lain tampil dengan keunikannya sendiri sehingga mengundang perhatian para penonton. Ada yang tampil dengan wajah dibungkus galon, ada yang mengenakan kostum penuh bunga plastik, ada yang datang dengan membawa perlengkapan mandi, ada juga yang datang dengan membawa slip gaji bulanannya.

Erna (26), salah seorang peserta lainnya, mengaku bahwa melamun adalah passion-nya. Ia pun sengaja datang ke lomba itu dengan membawa slip gaji karena lembaran itulah yang baginya bisa menjadi bahan lamunan sehari-hari.

"Aku anak pertama, terus ada tanggungan adik, keluarga juga. Jadi ya begitulah. Harapannya bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik. Jadi kalau ada lowongan kerja boleh hubungi saya," ujarnyadiakhiri tawa getir.

Bingung Ngelamunin Apa

Melamun sambil menatap kosong ke langit sore adalah salah satu cara mengambil nafas sejenak sebelum mengarungi lika-liku kehidupan yang bikin gila

Sekilas lomba melamun berjalan mudah bagi peserta yang mengikutinya. Dalam perlombaan itu, mereka cukup duduk berdiam diri selama 1,5 jam sambil memikirkan masalah hidup sehari-hari. Panitia mengeliminasi peserta yang kedapatan bergerak secara berlebihan atau tertidur selama berjalannya lomba.

Namun ternyata beberapa peserta yang tereliminasi sejak awal mengaku kesulitan untuk melamun. Ibnu (33) misalnya, selama lomba ia mengaku sulit untuk mencari sesuatu yang bisa menjadi bahan lamunan.

"Saya itu sebenarnya nggak pernah melamun. Jadi selama dalam lamunan itu saya bertanya-tanya, yang mau dilamunin itu apa. Mungkin karena hidup saya sudah enak kali ya," ujarnya setengah bercanda.

Selain tidak punya bahan lamunan, ada pula peserta yang tereliminasi karena mengaku digigit semut dan tidak tahan duduk terlalu lama. Panitia juga punya banyak cara agar peserta kehilangan fokus dari lamunannya seperti mengganti lagu yang memiliki nuansa sedih dengan lagu yang bernuansa ceria hingga bertingkah overacting di depan peserta yang sedang melamun.
 
Melamun Simbol Kebebasan 

Muhammad Ali Ma'ruf, juri lomba melamun. Seorang penulis buku dan content creator medsos yang suka memperkenalkan diri sebagai pakar kesedihan. Menurutnya melamun adalah simbol kebebasan.

Sebagai salah satu juri lomba melamun sore itu, Muhammad Ali Ma’ruf memiliki kriteria penilaian lomba yang diukur dari tiga hal yaitu; seberapa lama waktu yang ia habiskan untuk melamun, seberapa unik kostum yang dikenakan, dan seberapa jujur ekspresi yang ditampilkan peserta. Tolak ukur penilaian ini ia adopsi dari lomba melamun yang diadakan di Jepang.

"Saat melamun seseorang akan menampilkan ekspresi secara jujur. Tapi kalau Mas lihat sendiri di sini ada beberapa peserta yang ekspresinya dibuat-buat," ujar Ali. 

Bagi pria yang sehari-hari berprofesi sebagai penulis buku dan content creator media sosial itu, setiap orang memiliki beragam alasan untuk melamun. Selain untuk memikirkan solusi atas masalah hidup maupun memberi ruang atas perasaan yang sedang dirasa, melamun juga bisa menjadi simbol kebebasan.

"Melamun itu adalah ruang personal yang membebaskan kita. Selama kita melamun itu kita merdeka. Kita bisa mengendapkan apapun di sana, mengoceh apapun di sana, dan banyak ide-ide yang keluar dari sana juga. Dan hampir semua ide-ide besar berawal dari melamun," jelas pria yang lebih suka memperkenalkan diri sebagai praktisi kesedihan dan pegiat slow living Jogja itu.
 
(red/liputan6)

Redaktur : Indra





Berita Lainnya

KT-Pematang Panjang - HUT 75 Kampar