- Cakrawala Riau
- Peristiwa
- Nasib Taman Nasional Tesso Nilo: 69 Ribu Hektare Habis, Ada SHM di Kawasan Hutan
Nasib Taman Nasional Tesso Nilo: 69 Ribu Hektare Habis, Ada SHM di Kawasan Hutan

Penampakan seekor Gajah di Hutan Taman Nasional Tesso Nilo. (CR/wikipedia)
PEKANBARU(CR)-Wilayah Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah 69 ribu wilayahnya tergerus. Bahkan, muncul Sertifikat Hak Milik di kawasan tersebut. Luas kawasan saat penetapan sekitar 81.739 hektar, kini tersisa hanya 12.561 hektar
Hal itu diungkap oleh Jaksa Agung sekaligus Wakil Ketua I Pengarah Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), ST Burhanuddin dalam rapat di Gedung Utama Kejaksaan Agung, Jumat (13/06/2025) lalu.
Burhanuddin mengungkapkan, TNTN semula memiliki luas sekitar 81.793 hektare pada 2014 lalu. Namun kini, luasnya hanya tersisa 12.561 hektare.
"Hal ini disebabkan oleh perambahan hutan yang merusak ekosistem dan fungsi hutan sebagai rumah satwa serta paru-paru dunia," kata Burhanuddin dalam keterangannya, dikutip Jumat (20/06/2025) lalu.
Munculnya Lahan Sawit Ilegal hingga SHM
Burhanuddin memaparkan, ada sejumlah penyebab tergerusnya wilayah TNTN. Salah satunya, muncul banyak perkebunan sawit ilegal.
Hal ini menjadi masalah yang kompleks lantaran perkebunan sawit tersebut menjadi sumber utama perekonomian masyarakat sekitar.
Tak berhenti di sana, Burhanuddin menjelaskan, ada pula sejumlah Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terbit di wilayah hutan TNTN. Diduga, penerbitan itu dilatarbelakangi adanya dugaan korupsi.
Selain itu, warga yang tinggal di wilayah TNTN mengantongi Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) palsu.
Di lingkungan TNTN juga telah terbangun sarana dan prasarana pemerintah. Mulai dari tiang listrik, tempat ibadah, bahkan sekolah.
Hal ini lantas menimbulkan masalah baru, yakni terciptanya konflik antara masyarakat yang tinggal di sana dengan satwa langka -- gajah, harimau, dan sebagainya.
Burhanuddin membeberkan, saat ini pihaknya melalui Satgas PKH tengah berupaya mengembalikan fungsi TNTN. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan, total 1.019.611,31 hektare lahan telah kembali dikuasai pada 2 Juni 2025.
Ia menekankan, permasalahan ini perlu campur tangan dari pihak-pihak lainnya. Pasalnya, masalah ini tak hanya menyangkut masalah lingkungan hidup, melainkan juga ekonomi dan sosial masyarakat.
Pemulihan dan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo menjadi sorotan Presiden Prabowo Subianto. Dilansir dari laman Kementerian Kehutanan pemerintah berupaya memulihkan 3,7 juta hektar kawasan hutan yang dikelola tidak sesuai dengan fungsinya.
Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan bersama Satgas Garuda melakukan penguatan upaya penertiban Kawasan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo.
Satgas Garuda berdiri dengan landasan hukum Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2025 tentang Satgas Penertiban Kawasan Hutan. Satgas Garuda telah melakukan operasi di Tesso Nilo yang memiliki luas 81.739 hektare, dan 40 ribu hektare di antaranya telah dibuka dan ditanami sawit secara ilegal.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan, Dwi Januanto Nugroho, menargetkan upaya restorasi ekosistem di tahap awal akan selesai pada 17 Agustus 2025.
"Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) menjadi target strategis Bapak Presiden dalam program pemulihan kawasan hutan, yang hasil awalnya akan diumumkan pada 17 Agustus 2025,” kata Dwi, dikutip dari laman tersebut, Kamis (19/6/2025).
Dwi menuturkan, salah satu fauna yang paling terdampak imbas alih fungsi lahan Tesso Nilo adalah gajah. Makhluk mamalia tersebut terus mengalami penurunan, selama kurun waktu dua dekade terus mengalami penurunan karena aktivitas ilegal di wilayah tersebut.
Dari data Satgas Garuda, terdapat 15 ribu jiwa yang tinggal di kawasan Tesso Nilo hanya 10 persen yang merupakan penduduk asli dan sisanya adalah pendatang. Saat ini sudah ada 380 personel Satgas Garuda yang ditempatkan di 13 titik Tesso Nilo.
Selain itu, Satgas Garuda telah memasang portal, membangun pos penjagaan, dan memulai proses pengosongan secara persuasif tanpa kekerasan. Sejumlah masyarakat juga mulai secara sukarela meninggalkan kawasan. Satgas mencatat 1.805 sertifikat hak milik yang kini sedang diverifikasi oleh Kementerian ATR/BPN.
"Target kami adalah menciptakan kondisi de facto bahwa negara hadir dalam penertiban kawasan hutan. Proses hukum berlangsung selama dua tahun ke depan, dan pemulihan dilakukan dengan pendekatan humanis,” kata Dwi.
Saat ini, Polda Riau telah menetapkan seorang tersangka berinisial JS atas dugaan penerbitan lebih dari 200 surat hibah palsu di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, dengan nilai jual Rp5 juta hingga 10 juta per surat. JS yang memiliki jabatan sebagai 'Batin Adat' diduga menjual secara ilegal mencapai luas ratusan hektare, termasuk kepada tersangka lain berinisial DY, yang kini sudah dalam proses pelimpahan ke kejaksaan.
"Bukti berupa cap adat, surat pengukuhan, dan peta wilayah diamankan sebagai bagian dari penyidikan," kata Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan, dalam keterangan pers, Senin (23/6/2025).
Herry mengatakan, pihaknya masih mencari tersangka lain yang kini masih dalam proses penyidikan. Dia menekankan bahwa Tesso Nilo adalah kawasan paru-paru dunia dan simbol adat warga Riau.
"Hukum adalah panglima tertinggi. Kita tidak anti terhadap adat dan kearifan lokal, tetapi simbol adat tidak boleh dimanipulasi untuk menjual paru-paru dunia," katanya.
Meski terkesan heroik dan memiliki keberpihakan pada alam yang selama ini termarjinalisasi oleh manusia, namun kebijakan Presiden Prabowo untuk mengonservasi dan pemulihan hutan Tesso Nilo harus dilakukan secara penuh kehati-hatian.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Boy Jerry Even, mengungkapkan adanya potensi konflik dengan masyarakat setempat bila proses konservasi lahan melibatkan militer. Walaupun dalam klaim Satgas Garuda, warga setempat mau direlokasi secara sukarela baik tempat tinggal maupun kebun dari kawasan taman nasional.
"Kami melihat ada potensi konflik besar apabila pendekatan penegakan hukum dilakukan secara represif," kata Boy dikutip dari Tirto.id, Selasa (24/6/2025).
Boy menilai, salah satu upaya pendekatan kepada masyarakat adalah dengan memilih kepemilikan lahan dalam proses relokasi. Dia meminta pemerintah untuk menyasar kepada pemilik kebun dengan luas lahan lebih dari 25 hektar, terlebih upaya pemulihan lahan ini menargetkan selesai selama 3 bulan. Sehingga ada kekhawatiran jika proses pemulihan dilakukan secara terburu-buru.
"Penertiban tanpa desain pemulihan hanya menunjukkan arogansi, bukan semangat pemulihan alam dan hak masyarakat adat atau lokal," kata Boy.
Boy menduga, jika upaya konservasi ini dilakukan secara serampangan, kemudian diikuti dengan pemaksaan dan aksi kekerasan tanpa landasan hukum, maka yang terjadi selanjutnya hanyalah perpindahan kepemilikan lahan sawit di Tesso Nilo.
"Kami tegas meminta penertiban ini tidak boleh jadi ajang take over kebun sawit di kawasan hutan apalagi konservasi," kata dia.
Menurutnya, pemulihan hutan taman nasional harus berpihak dan memprioritaskan kehidupan gajah yang saat ini mulai kehilangan habitatnya. Kemudian, para cukong ataupun mafia sawit yang memiliki rantai oligarki dengan pemerintah harus diberantas dan ikut dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
"Upaya penyelamatan spesies menjadi urgensi yang penting, penertiban secara luas ini kami tekankan pada dua hal, pertama penegakkan hukum yang selektif, dan kedua, masyarakat yang memiliki lahan kurang dari 5 hektar untuk dilibatkan dalam proses pemulihan dengan pemenuhan hak jangka benah," kata Boy.
Kepala Pusat Studi Sawit Institut Pertanian Bogor, Budi Mulyanto, meminta pemerintah untuk melakukan kajian sosial terhadap kawasan Tesso Nilo yang kini banyak digunakan sebagai lahan pertanian kelapa sawit. Menurutnya, dengan kajian sosial, upaya konservasi atau penertiban lahan — sebagaimana istilah pemerintah — dapat dilakukan dengan pendekatan yang melibatkan masyarakat tanpa adanya paksaan atau kekerasan.
Apabila masyarakat hanya dipaksa meninggalkan lahan sawit mereka, walaupun secara hukum lahan tersebut ilegal, para penduduk berpotensi akan kembali ke area tersebut di masa depan. Hal ini dikarenakan mereka menggantungkan mata pencaharian dari bertani kelapa sawit di kawasan Tesso Nilo.
"Yang sudah menjadi lahan tumpuan masyarakat, menurut saya, jika harus dikosongkan dan kemudian dijadikan lahan konservasi, saya sama sekali tidak yakin setelah dikosongkan akan kembali menjadi hutan. Peluangnya justru masyarakat akan kembali ke sana," kata Budi kepada Tirto, Selasa (23/06/2025).(wan/bbs)